Petaka yang terjadi setelah rusaknya Hutan Pematang Damar di Jambi Tulo mengalir pelan dari mulut Adi Ismanto. Daerahnya yang dekat dengan Candi Muarojambi itu kini jadi langganan banjir di musim penghujan. Sumur yang jadi sumber air bersih jadi cepat kering di musim kemarau.
Hutan Pematang Damar yang jadi tempat tumbuh anggrek langka itu dihancurkan oleh dua faktor. Pertama akibat kebakaran besar yang melanda pada tahun 2015. Selanjutnya, pemerintah memberi izin ke perusahaan perkebunan menggarap areal itu.
Masa itu tak banyak yang bisa mereka lakukan mempertahankan wilayah kelolanya. Adi dan kawan-kawan tak kuasa menghadapi kebijakan pemerintah dan kehadiran perusahaan. Semuanya pun akhirnya berubah, baik bentang alam maupun kehidupan mereka.
Kondisi Hutan Pematang Damar, disebut juga Pematang Dhamma, mereka kisahkan dalam Lagu Senandung Pematang Damar. Adi, yang tergabung dalam Komunitas Gerakan Muarojambi Bersakat, menceritakan, senandung Pematang Damar dibuat sebagai ungkapan keprihatina atas kondisi di sana.
Mereka menciptakan liriknya. Sementara nada diadopsi dari Ratapan Jando Merajuk.
“Zaman dulu itu, jada dianggap orang-orang suci, karena dia menjalani sebagai janda yang itu bukan kehendak dia, tapi kehendak Tuhan. Dia adalah orang-orang suci orang-orang yang terpilih menjalani beban hidup,” tuturnya, pada Juni 2024.
Dalam pandangan nenek moyang mereka, ketika janda meratap, maka malapetaka akan datang, karena orang suci sudah meratap. “Nah itu yang terjadi ketika Hutan Pematang Damar itu habis dimakan api. Kita bikin ratapan,” jelasnya.
Kondisi yang terjadi di sana saat ini, yakni kekeringan, kesulitan sumber air, hingga banjir yang semakin sering datang, merupakan warisan setelah kebakaran itu. “Kini yang terjadi adalah air mata,” ucapnya.
Dia mengatakan, bila satu bulan saja tidak ada hujan, sumur warga sudah mengering. Padahal dulunya, tidak ada cerita sumur mengering.
Ketika banjir pun, dulu banjir besar yang baru bisa masuk ke kampung itu. Sementara sekarang, baru musim hujan, banjir sudah mendatangi kampung mereka.
Fungsi Hutan pematang Damar, menurutnya merupakan wilayah untuk resapan air. “Ketika banjir dia menampung air banjir, ketika kemarau menampung air untuk pasokan minum. Jadi setelah kebakaran itu, memang kondisinya benar-benar menjadi malapetaka bagi kami,” jelasnya.
Hingga kini Adi tak pernah habis pikir dengan kebijakan yang dibuat pemerintah. Bila pemerintah pro kepada rakyat, maka menurutnya seharusnya tidak akan mengeluarkan izin kepada perusahaan untuk menggarap lahan itu untuk jadi kebun. Dia menilai, selama fungsi Hutan Pematang Damar tak dipulihkan, malapetaka selanjutnya akan terus terjadi. (*)